OJK: Tak Ada Peluang Perusahaan Asuransi Jalankan Kegiatan ASO pada Fintech Lending

OJK: Tak Ada Peluang Perusahaan Asuransi Jalankan Kegiatan ASO pada Fintech Lending

Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi

Beritafintech.com – JAKARTA. Permasalahan gagal bayar fintech peer to peer (P2P) lending membuka fakta bahwa asuransi Administrative Service Only (ASO) digunakan untuk memitigasi risiko gagal bayar.

Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan POJK Nomor 69 Tahun 2016 hanya memperkenankan kegiatan ASO dalam rangka employee benefit. Dia menambahkan penguatan persyaratan, terms and conditions, serta proses bisnis asuransi kredit ditekankan pada POJK Nomor 20 Tahun 2023.

“Oleh karena itu, tidak terdapat peluang perusahaan asuransi yang menjalankan kegiatan ASO pada fintech lending, termasuk pada asuransi kredit,” katanya dalam lembar jawaban tertulis, Rabu (6/3).

Baca Juga: Lender Investree Akan Ajukan Gugatan Class Action

Hal yang sama juga disampaikan Deputi Komisioner Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila. Dia menyampaikan bahwa ASO tak digunakan untuk cover kredit di fintech lending, melainkan untuk asuransi kesehatan.

“Menurut saya, ASO itu untuk asuransi kesehatan, bukan untuk cover kredit yang diberikan oleh fintech lending,” katanya kepada Kontan.

Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) sempat menyatakan bahwa tak diperkenankan menggunakan asuransi ASO di fintech lending.

“ASO itu sebenarnya tidak diperkenankan, kalau ketangkap, ya, kena. Kami tidak mendorong untuk menggunakan ASO,” ungkap Ketua AAUI Budi Herawan saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (28/2).

Budi menyebut beberapa kali telah berbicara dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai penggunaan asuransi di fintech lending. Dia tak memungkiri memang angka transaksional industri fintech lending luar biasa sampai triliunan.

TRENDING  Jangan Tertipu yang Ilegal, Ini 98 Pinjol Legal Resmi Terdaftar OJK November 2024

“Kami masih berperan di situ, saya berpendapat ruang transaksional itu ibaratnya berada di awang-awang, yakni mampir tidak mampir, karena by digital semua. Default-nya itu memang kami di asuransi umum masih mencoba merumuskan, apakah ASO masuk kepada kategori asuransi pembiayaan atau kata lainnya financial. Masih dalam kajian. Saya juga ditantang OJK, coba dari situ apakah asuransi umum bisa mengambil porsi, berapa preminya,” ungkapnya.

Baca Juga: Asuransi ASO Tidak Proteksi Dana Lender

Budi menyampaikan pihaknya memang agak kesulitan karena banyak sekali persoalan di fintech lending, sedangkan OJK sekarang sedang kewalahan mengatur fintech lending.

Mengenai penggunaan ASO, Budi menyatakan asosiasi paling hanya bisa mengimbau, tetapi kewenangan menindak ada di OJK kalau ada yang menggunakan ASO tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa perusahaan asuransi tidak diperbolehkan menjalankan kegiatan Asuransi Secara Online (ASO) pada platform fintech lending. Hal ini disampaikan untuk melindungi konsumen dari risiko keuangan yang mungkin timbul akibat penggunaan fintech lending. OJK menegaskan bahwa kegiatan ASO harus dilakukan melalui perusahaan asuransi yang telah memiliki izin resmi dan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan. Larangan ini bertujuan untuk mencegah perusahaan asuransi yang tidak terdaftar dan tidak diawasi oleh OJK untuk terlibat dalam kegiatan ASO yang dapat merugikan konsumen.

Check Also

Ini daftar lengkap 158 fintech yang mengantongi izin dari OJK

Ini alasan fintech lending syariah jauh tertinggal dibanding pemain konvensional

Fintech lending syariah masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pemain konvensional karena beberapa alasan utama. Pertama, masih minimnya pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan keuangan syariah. Kebanyakan orang lebih familiar dengan sistem konvensional sehingga sulit untuk beralih ke fintech lending syariah. Kedua, regulasi yang belum mendukung perkembangan fintech lending syariah juga menjadi hambatan utama. Beberapa aturan yang ada cenderung lebih menguntungkan pemain konvensional daripada syariah, sehingga membuat para pelaku usaha enggan untuk berinvestasi di sektor ini. Selain itu, kurangnya kerjasama antara lembaga keuangan syariah dan fintech lending juga turut memperlambat pertumbuhan industri ini. Dibutuhkan sinergi yang kuat antara kedua pihak agar dapat memberikan layanan finansial yang komprehensif dan berkualitas bagi masyarakat. Meskipun demikian, potensi pasar untuk fintech lending syariah tetap besar dan masih perlu terus dikembangkan agar dapat bersaing secara sehat dengan pemain konvensional. Diperlukan upaya bersama dari semua pihak terkait untuk meningkatkan literasi keuangan syariah serta menciptakan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri ini di masa depan

%site% | NEWS