Ini Kata AFPI Soal Adanya Ketentuan Pembatasan Pinjaman Borrower Fintech Lending

Ini Kata AFPI Soal Adanya Ketentuan Pembatasan Pinjaman Borrower Fintech Lending

ILUSTRASI. Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar

Beritafintech.com – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2025 mengenai penyelenggaraan fintech peer to peer (P2P) lending. Dalam SEOJK itu, ada ketentuan mengenai pembatasan pinjaman oleh borrower, yang mana rasio perbandingan utang atau pinjaman dengan penghasilan borrower paling tinggi sebesar 40% pada 2025 dan 30% mulai 2026. 

Mengenai hal itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyambut baik adanya aturan pembatasan untuk borrower tersebut. Ketua Umum AFPI Entjik Djafar menilai aturan itu bertujuan agar industri fintech lending menjadi lebih prudent dan sehat.

“Selain itu, adanya aturan tersebut diharapkan industri bisa menekan angka kredit macet menjadi lebih kecil lagi,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (26/8/2025).

Baca Juga: Ini Kata Pengamat Soal Adanya Pembatasan Lender Non Profesional di Fintech Lending

Entjik menambahkan penyelenggara fintech lending akan mengikuti dan mematuhi aturan tersebut. Dia juga berharap adanya aturan tersebut tidak mengurangi jumlah borrower individu yang membutuhkan pembiayaan dari fintech lending ke depannya.

Sebagai informasi, dalam SEOJK 19/2025, disebutkan penilaian skor kredit (credit scoring) oleh penyelenggara harus memperhatikan kelayakan dan kemampuan calon borrower untuk memenuhi kewajiban pembayaran pendanaan, yaitu watak (character) dan kemampuan membayar kembali (repayment capacity). Selain itu, penyelenggara dapat memperhatikan juga aspek lainnya, seperti modal (capital), prospek ekonomi (condition of economy), dan/atau objek jaminan (collateral).

TRENDING  Siapkan Dana Jumbo, Bank Pastikan Keamanan IT Dari Serangan Siber

Baca Juga: AFPI: Industri Fintech Lending Sudah Berkontribusi terhadap Perekonomian Indonesia

Sementara itu, penilaian terhadap kemampuan membayar kembali (repayment capacity) untuk pendanaan konsumtif, antara lain dilakukan dengan menelaah perbandingan antara jumlah pembayaran pokok dan manfaat ekonomi yang dibayarkan borrower dengan penghasilan borrower. Rasio perbandingan ditetapkan paling tinggi sebesar 40% pada 2025 dan 30% (tiga puluh persen) mulai 2026.

Adapun jumlah pembayaran pokok dan manfaat ekonomi adalah seluruh jumlah pembayaran pokok dan manfaat ekonomi yang dibayarkan borrower kepada seluruh kreditur, terdiri dari penyelenggara, bank, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, perusahaan pergadaian, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dijelaskan penghasilan borrower diketahui dari bukti yang valid sebagai pendukung informasi penghasilan, antara lain slip gaji atau mutasi rekening borrower. 

Baca Juga: 82% Masyarakat Belum Terlayani Perbankan, Fintech Lending Punya Ruang Tumbuh

Selanjutnya: Industri Jerman Terus Melemah 245.000 Pekerjaan Hilang Sejak 2019

Menarik Dibaca: Promo Sociolla Payday Rewards 25-31 Agustus 2025, Hair Dryer-Serum Diskon hingga 60%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Check Also

Pesan OJK, Pertimbangkan Hal Ini Sebelum Meminjam di Fintech Lending

Penyaluran Pinjaman Fintech Lending Syariah Hanya Rp 780 Miliar per Agustus 2025

Menurut data terbaru, penyaluran pinjaman fintech lending syariah hanya mencapai Rp 780 miliar per Agustus 2025. Meskipun angka ini tergolong rendah dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya, namun tingkat keterlibatan masyarakat dalam produk keuangan syariah terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa minat dan kepercayaan masyarakat terhadap layanan keuangan berbasis syariah semakin berkembang di Indonesia. Diharapkan dengan adanya peningkatan kesadaran akan pentingnya menggunakan produk keuangan syariah, penyaluran pinjaman fintech lending syariah dapat terus meningkat dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi seluruh lapisan masyarakat

%site% | NEWS