ILUSTRASI. fintech; financial technology; teknologi finansial; tekfin TaniFund Tani Fund untuk petani; pertanian
Reporter: Annisa Fadila | Editor: Herlina Kartika Dewi
Beritafintech.com – JAKARTA. Pandemi yang masih mewabah membuat kinerja fintech P2P Lending ikut tertekan. Terbukti, non performing loan (NPL) industri fintech per Juni 2020 mencapai 6,13%. Peer to Peer (P2P) Lending TaniFund yang bergerak dalam bidang pertanian mengklaim, untuk menghindari gagal bayar perusahaan terlebih dahulu melakukan credit scoring.
Direktur TaniFund Edison Tobing menyebutkan, dalam realisasinya credit scoring ini dilakukan kepada 60% petani, dimana tujuannya agar petani bisa memghadirkan produk baru, sekaligus perusahaan bisa mengetahui kondisi bisnis petani.
Tak hanya itu, melalui skema ini pihaknya dapat memantau kondisi finansial serta mengetahui kondisi lahan petani yang hendak mengajukan pinjaman.
Baca Juga: Penyaluran dana TaniFund telah mencapai Rp 111,92 miliar
“Sebelum memberi pendanaan ke petani, kami sudah melakukan credit scoring, sehingga jika literasi finansial sudah diatasi, maka fokus lainnya meminta petani untuk menghasilkan panennya tepat waktu,” ujar Edison dalam wawancara terbatas Rabu (19/8).
Meski covid-19 masih mewabah, pihaknya tak melihat dampak signifikan terhadap bisnisnya. Terbukti, sampai Juni 2020 perusahaan telah menyalurkan pinjaman senilai Rp 132 miliar.
Apalagi, Edison menegaskan permintaan terhadap padi maupun bahan produktif lainnya kerap meningkat. Oleh sebabnya, sampai akhir tahun pihaknya menargetkan penyaluran dana meningkat dua kali lipat dari total di bulan Juni.
“Rata-rata pengembalian dari borrower juga relatif terjangkau, artinya masih terpantau. Oleh sebabnya, Tanifund juga menargetkan tahun ini dapat bekerja sama dengan 1 juta petani, sehingga harapannya bisnis terus berjalan, sesuai dengan pantauan,” pungkasnya.
Sementara P2P Lending Crowde mencatat bisnisnya masih di level stabil. Terlihat, NPL perusahaan mencapai 4,72%. Chief Excecutive Officer Crowde Yohanes Sugihtononugroho menyebutkan, semenjak pandemi pihaknya telah mengubah strategi bisnisnya.
Yohannes bilang, sejak pandemi pula pengawasan di beberapa daerah ditingkatkan 40%, terlebih pihaknya memantau pergerakan tanaman yang telah dipanen oleh petani.
“Kami juga telah menyusun SOP, jadi perusahaan akan memantau apa saja yang ditanam. Karena ini berpengaruh untuk menurunkan kegagalan pembayaran,” ujarnya.
Yohannes menambahkan, untuk mempertahankan bisnis pihaknya memaksimalkan desentralisasi untuk memonitor petani, sehingga kinerja dapat terpantau sesuai dengan hasil yang diperoleh.
Baca Juga: Fintech pertanian dinilai masih potensial untuk berkembang
“Istilahnya kami mengirimkan anggota Crowde untuk ke lapangan, sehingga kinerja dan bentuk kendala petani dapat diketahui. Melalui skema ini pula, kami melihat monitoring jauh lebih baik. Crowde bisa mengenal petani mana saja yang berpotensi,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Fintech TaniFund menggunakan berbagai strategi untuk menekan Non-Performing Loans (NPL) yang lebih rendah. Mereka memprioritaskan analisis kredit yang ketat untuk mengidentifikasi peminjam yang potensial dan mengurangi risiko gagal bayar. Selain itu, TaniFund juga melakukan diversifikasi portofolio pinjaman untuk mengurangi risiko konsentrasi. Mereka juga melakukan pendekatan proaktif dengan memberikan bantuan dan pendampingan kepada para peminjam yang mengalami kesulitan dalam membayar pinjaman. Melalui strategi ini, TaniFund berusaha untuk mempertahankan tingkat NPL yang rendah dan memberikan dukungan kepada para petani dan pelaku usaha kecil untuk mengembangkan bisnis mereka.