Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
Beritafintech.com – JAKARTA. Perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending bergegas menyiapkan mitigasi risiko pinjaman di platform digital. Hal ini seiring dengan upaya pemain lewat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berupa meningkatkan batas penyaluran pinjaman yang telah di atur oleh regulator.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 77/POJK.01/2016 tentang pinjaman uang berbasis teknologi finansial pada pasar 6 diatur batas maksimal pemberian pinjaman dana. Dalam beleid ini, batas maksimum total pemberian pinjaman dana fintech lending sebesar Rp 2 miliar. Peminjam boleh meminjam kembali selama pinjaman sebelumnya sudah dilunaskan.
“Anggota asosiasi mintanya macam-macam ada Rp 3 miliar, ada Rp 4 miliar, atau Rp 5 miliar, macam-macam. Kami masih tahap diskusi dengan OJK untuk penambahan limit,” ujar Wakil Kepala Eksekutif Fintech P2P Lending Pendanaan Multiguna AFPI Wisely Wijaya saat berkunjung ke Beritafintech.com beberapa waktu lalu.
Bila regulator mengabulkan keinginan pemain fintech terkait batas limit pinjaman, maka risiko yang akan ditanggung oleh pemberi pinjaman atau lender akan semakin besar. Seiring dengan semakin besar pinjaman yang akan dilontarkan kepada peminjam atau borrower.
Lanjut Wisely penambahan limit pinjaman akan lebih banyak berpengaruh kepada pemain yang menggarap sektor produktif. Lantaran secara nominal, pinjaman ke sektor ini lebih besar dan lama.
PT Mediator Komunitas Indonesia atau Crowde sudah menyiapkan strategi untuk mitigasi risiko. Chief Operational Officer Crowdo Nur Fitri menyatakan hal pertama yang dilakukan adalah meningkatkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence untuk menganalisa calon peminjam.
“Langkah yang juga disarankan oleh asosiasi adalah bekerja sama dengan asuransi untuk pinjaman. Kalau terjadi gagal bayar, bisa ditanggung oleh asuransi besarannya balik lagi ke perjanjian dengan perusahaan asuransi. Semua informasi itu diberitahukan kepada lender, sebab lender yang akan memutuskan untuk meminjamkan atau tidak,” jelas Nur kepada Beritafintech.com.
Tak sampai situ, Crowdo juga membawa borrower ke notaris untuk membuat akta fidusia terkait pinjamannya. Ia mengaku kemungkinan keterlambatan bayar masih ada, lantaran sektor produktif mengandalkan kinerja usaha. Namun Ia optimis hal ini akan menekan gagal bayar.
Otoritas Jasa Keuangan mencatatkan tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) di level 1,57%. Artinya tingkat gagal bayar hingga 90 hari sebesar 1,57% dari total pinjaman yang disalurkan. Posisi ini turun dari posisi April 2019 sebesar 1,63%. Namun masih lebih tinggi dibandingkan Desember 2018 di posisi 1,45%.
Akumulasi pinjaman lewat fintech lending hingga Mei 2019 tercatat sebesar Rp 41,04 triliun. Nilai ini tumbuh 81,11% dibandingkan tahun lalu atau year to date (ytd) di akhir 2018 yang sebesar Rp 22,66 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sejumlah perusahaan fintech P2P lending di Indonesia tengah mengajukan permintaan untuk menaikkan batas pinjaman guna memperkuat mitigasi risiko. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan transaksi dan perlindungan bagi para peminjam maupun investor. Selain itu, fintech P2P lending juga melakukan berbagai langkah untuk mengatasi risiko seperti penerapan analisis data yang lebih ketat dan peningkatan monitoring terhadap pengguna. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat menekan potensi terjadinya kecurangan dan menjamin keberlanjutan pertumbuhan industri fintech P2P lending di Tanah Air.